Selasa, 18 Februari 2014

Jalan sehat & Penggalangan Dana Gunung Kelud PAC IPNU – IPPNU Pucuk

Pucuk, 15 Rabi’ul Akhir 1435 H./16 Pebruari 2014 M.
Pimpinan Anak Cabang IPNU – IPPNU Kecamatan Pucuk Lamongan menyelenggarakan kegiatan Jalan sehat dalam rangka memperingati HARLAH IPNU Ke – 60 dan IPPNU Ke – 59. Kegiatan yang dirangkai dengan Program Kemanusiaan “Penggalangan Dana untuk Korban Bencana Letusan Gunung Kelud” diikuti oleh seluruh simpatisan IPNU – IPPNU se-Kecamatan Pucuk dan sekitarnya.
Kegiatan yang dilaksanakan pagi hari tanggal 16 Pebruari 2014 ini mengambil Start dan Finish di Balai Desa Pucuk. Peserta jalan sehat diberangkatkan langsung oleh Bapak KH. Nursalim Hasan selaku Rais Syuriah MWC NU Pucuk dengan didampingi beberapa Pengurus lain dan juga Kepala Madrasah/Sekolah dilingkungan LP. Ma’arif NU Kecamatan Pucuk.
Puluhan jenis hadiah dibagikan dalam event yang digelar oleh organisasi pelajar tersebut. Ada TV, Handphone, DVD, dan banyak hadiah hiburan lainnya. Tentunya selain sehat peserta akan merasa senang jika nomor tiket atau kupon undian berhadiah yang dipegangnya sesuai dengan nomor undian yang dipanggil panitia.
Melalui kegiatan ini juga dilaksanakan penggalangan dana untuk membantu korban bencana letusan Gunung Kelud. Para peserta kegiatan Jalan Sehat diminta menginfaqkan sebagian uang saku untuk berpartisipasi dalam program kemanusiaan tersebut. (afa). 

Refleksi HARLAH GP. ANSOR ke - 80

Warukulon, 28 Januari 2014
Dalam rangka memulyakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW melalui peringatan kelahirannya pada tanggal 12 bulan Rabi’ul Awal, Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor (GP. ANSOR) Kecamatan Pucuk menggelar kegiatan Do’a Bersama dan Tumpengan yang bertempat di Kantor MWC NU Kecamatan Pucuk.
Kegiatan yang dilaksanakan Bakda Isya’ tepat pada hari Selasa tanggal 28 Januari 2014 ini, juga sebagai bentuk resepsi kegiatan Peringatan Hari Lahir Gerakan Pemuda Ansor (GP. ANSOR) yang ke – 80.
Rangkaian lain dari kegiatan ini adalah diputarnya Film “SANG KIAI” (Film terbaik FFI tahun 2013). Film tersebut menceritakan tentang Perjuangan Khadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar PBNU dan sebagai panutan bangsa dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan. Film tersebut mengambil sudut pandang tahun 1942 sampai dengan 1947.
Banyak undangan yang dilibatkan dalam kegiatan Do’a Bersama dan Tumpengan serta Nonton Fim “SANG KIAI”. Mulai dari Jajarang Pengurus MWC NU Kecamatan Pucuk, Muslimat NU, Fatayat NU, IPNU, dan IPPNU serta anggota GP. ANSOR dari ranting se-kecamatan Pucuk.

Senin, 20 Januari 2014

Resolusi Jihad, Dari NU untuk Bangsa


ENAM puluh delapan tahun silam, tepatnya, 22 Oktober 1945, sejumlah Kyai berkumpul di kantor Ansor untuk sebuah komitmen kebangsaan, ya,.. mereka berkumpul bukan untuk menagih janji politik dalam bentuk proyek pembangunan sebagaimana halnya yang banyak dilakukan saat ini, bukan pula untuk membahas setumpuk proposal dengan deretan angka-angka yang fantastis, dan sudah pasti bukan untuk membahas pembagian jabatan strategis dalam struktur pemerintahan. Tetapi mereka bermusyawarah untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat itu, baru berumur dua bulan. Rekomendasinya, adalah resolusi jihad NU yang bertujuan untuk memaksa sekutu angkat kaki dari bumi pertiwi.
Inilah konstribusi ril NU untuk Bangsa, yang boleh jadi sebagai generasi pelanjut kita tak pernah tahu, rupanya sejarah yang selama ini kita pelajari di sekolah tidak lengkap, kalau tak mau dikatakan terpangkas. Kini setelah negeri ini telah memasuki usia senja, sudah sewajarnya jika kita kembali mengenang penggalan sejarah yang terlupakan ini, sekaligus untuk memetik hikmah dalam melakukan ijtihad melawan penjajahan model baru.
Peran dan konstribusi Nahdlatul Ulama terhadap eksistensi dan tegaknya NKRI memang tak bisa dibantah. “Mau ditutupi seperti apa pun tidak akan bisa, lambat laun pasti akan terungkap”, (KH.Dr. Said Agil Siradj,MA, Resolusi Jihad NU, sejarah yang dilupakan, 2011). Memang jika kita mencermati sejarah resmi yang diajarkan di Indonesia, sangat minim menyinggung resolusi jihad NU, padahal peristiwa inilah sesungguhnya yang memicu meletusnya peristiwa 10 November 1945, sebuah peristiwa yang kita peringati sebagai hari pahlawan. Sejarah yang kita pelajari selama ini meletakkan peristiwa 10 November 1945 berdiri sendiri (tiba-tiba) ada, atau meletus begitu saja tanpa didahului peristiwa sebelumnya.
Padahal, tidak akan ada peristiwa 10 November 1945 kalau tidak ada peristiwa 22 Oktober 1945. Peristiwa 22 Oktober 1945, muncul sebagai jawaban kebingungan Presiden Soekarno dan Jenderal Sudirman melihat kedatangan tentara sekutu bersenjata lengkap di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di tanah air, untuk mencaplok kembali kedaulatan Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Bung Karno ketika itu menyadari sepenuhnya, bahwa sebagai Negara baru posisi tawarnya di dunia internasional masih lemah, apalagi infrastruktur pemerintahan belum memadai, khususnya perangkat militernya. Karena itu bagi Soekarno, tidak ada pilihan lain selain menggelorakan perlawanan rakyat semesta.
Pertanyaannya, siapa yang memiliki power untuk menggelorakan perlawanan rakyat dengan sukarela di saat bangsa masih seumur jagung? Dalam posisi galau itulah, Soekarno mengirimkan utusan khusus untuk sowan kepada Raisul Akbar NU, Hadratus Syekh KH.Hasyim Azhari di Tebu Ireng Jombang. Melalui utusan khusus itu, Soekarno bermohon agar Hadratus Syekh mengeluarkan fatwa jihad.
Sebagai seorang ulama yang senantiasa mengedepankan musyawarah dan keikhlasan berjuang, Kyai Hasyim memanggil KH Wahab Abdullah dari Tambak Beras Jombang untuk mengumpulkan ketua ketua NU se-jawa timur dan Madura dalam membahas masalah tersebut, singkat kisah, tanggal 21 Oktober 1945, semua delegasi NU beserta Kyai utama lainnya berkumpul di Kantor Pusat Gerakan Pemuda Ansor, jalan Bubutan Surabaya. Setelah melewati diskusi yang panjang, esok harinya 22 Oktober 1945 disepakatilah Resolusi Jihad NU yang terdiri dari tiga poin kesepakatan; Pertama, berjihad membela Negara itu wajib hukumnya, Kedua, mati dalam medan pertempuran dijamin mati syahid, dan yang ketiga, bagi yang berpihak kepada penjajah dibenarkan untuk dibunuh.
Begitulah komitmen NU terhadap Bangsa, setia mengawal NKRI dari awal sampai akhir. Sebagai generasi pelanjut, saat ini kita tidak lagi diminta untuk angkat senjata melawan penjajah dari luar. Tetapi komitmen para ulama untuk berjuang tanpa pamrih sejatinya menginspirasi kita untuk mengambil peran dalam menyelamatkan bangsa dari mental penjajah yang hingga kini masih bercokol di tanah air.
Fenomena politik dinasti yang belakangan ini ramai disoroti oleh media massa, seharusnya menjadi agenda besar kita untuk menolaknya tanpa syarat. Sebab kalau kita berkaca pada kiprah para ulama yang telah mempertaruhkan nyawanya di medan perang, tak satu pun di antara mereka yang meminta apalagi mengemis jabatan. Begitupun dengan penyakit kronis korupsi yang sampai kini masih menggerogoti bangsa kita, sebagai bentuk penjajahan model baru yang berpotensi menyengsarakan rakyat, harus dilawan dengan cara yang sistematis. Kesederhanaan Kyai dahulu, dengan mengedepankan pendidikan karakter melalui pondok pesantren harus dimaknai sebagai sebuah bentuk pengkaderan bangsa berbasis moralitas, yang diharapkan bisa berkonstribusi dalam membentuk karakter bangsa.
Sayangnya kader berbasis pesantren saat ini banyak terpinggirkan oleh kekuatan politik dinasti yang menggurita. Liberalisme politik menempatkan kekuatan finansial sebagai mesin pengeruk suara rakyat yang mengambang, membuat kader ulama terpinggirkan. Situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan ini, mesti dilihat sebagai agenda “jihad” politik saat ini.
Sebagai penganut agama yang terbesar di negeri ini, ummat Islam dituntut untuk melakukan terobosan baru dalam mewujudkan cita-cita dan harapan bangsa. Kalau penjajah bermaksud mengeruk sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, maka dinasti dan korupsi saat ini, selain menyengsarakan rakyat, juga menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Tanpa bermaksud membela teroris, penulis merasa perlu mengingatkan bahwa, kalau teroris tega membunuh orang perorang, koruptor bisa membunuh jutaan orang secara perlahan. Ini artinya, seorang koruptor jauh lebih berbahaya daripada seorang teroris.
Karena itu melalui momentum 22 Oktober 2013 ini, penulis mengajak kepada sesama anak bangsa untuk mengambil semangat resolusi jihad NU 1945, sebagai inspirasi utama dalam memerangi koruptor. Jayalah Indonesia, merdeka dari penindasan para koruptor. 
Penulis: Darwis Waru, Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Poso, mantan jurnalis

Minggu, 19 Januari 2014

BNI-GP Ansor Kembangkan Kampoeng BNI Berbasis Pesantren


gp-ansor.org, SURABAYA: Gagasan dan kerja pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Gerakan Pemuda Ansor semakin mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Dalam peringatan harlah ke – 80 Tahun, PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk berkomitmen untuk bekerja sama dengan Gerakan Pemuda Ansor dalam pemberdayaan potensi ekonomi pondok pesantren.
Komitmen kerja sama tersebut dituangkan dalam nota kesepahaman antara PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. dan Gerakan Pemuda Ansor tentang Program Kampoeng BNI Berbasis Pesantren. Nota kesepahaman ini ditandatangani oleh Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Gatot M. Suwondo, dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid pada acara Peringatan Harlah ke-80 Tahun Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, yang dihadiri oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Sabtu (4/1/2014).
Direktur Utama BNI Gatot M. Suwondo mengatakan kerja sama tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan sejahteraan masyarakat Indonesia melalui program kemitraan. “Kami akan kembangkan program Kampoeng BNI Berbasis Pesantren,” katanya.
Untuk tahap perintisan, pada 2014, akan dilaksanakan di tiga lokasi pondok pesantren yakni Pondok Pesantren Al-Ittifaq (Ciwidey, Bandung), Pondok Pesantren Sidogiri (Pasuruan), dan Pondok Pesantren Sunan Drajat (Lamongan).
Kampoeng BNI adalah program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui penyaluran kredit lunak dengan sistem klaster yang dilakukan di beberapa daerah. Tujuan pembentukan Kampoeng BNI adalah untuk mengembangkan potensi ekonomi masyarakat di suatu kawasan pedesaan melalui pinjaman lunak program kemitraan maupun bantuan bina lingkungan untuk menunjang aktivitas ekonomi lokal di daerah tersebut.
Pada saat ini konsep Kampoeng BNI dibangun atas prinsip community enterprise, dimana satu klaster memiliki berbagai macam produk yang menjadi keunggulan atau ciri khas daerah tersebut.
Beberapa Kampoeng BNI (KBNI) lain yang telah dibuka sejak 2007 hingga saat ini, antara lain KBNI Peternakan Sapi Subang, KBNI Budidaya Jagung Ciamis, KBNI Budidaya Ulat Sutera Bantul, KBNI Tenun Songket Ogan Ilir, KBNI Nelayan Lamongan, KBNI Jagung Solok, KBNI Seni Kamasan Klungkung, KBNI Pengolahan Hasil Laut Muara Angke, KBNI Bandeng Karawang, KBNI Karebosi Makassar, KBNI Pisang Lumajang, KBNI Batik Pekalongan, KBNI Batik Lasem Rembang, KBNI Kain Sutera Sengkang Wajo, KBNI Mebel Sumedang, KBNI Kain Sasirangan Banjarmasin, KBNI Pemberdayaan Perempuan Bogor, KBNI Ikan Nila Ponorogo, KBNI Tenun Ikat Sumba Waingapu, KBNI Tenun Silungkang - Sawahlunto, KBNI Kain Ulos Samosir - Sumatera Utara, KBNI Kain Tapis Lampung Selatan, dan KBNI Tenun Pandai Sikek Bukittinggi.
Nusron Wahid, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, mengatakan kerja sama pengembangkan Kampoeng BNI Berbasis Pesantren merupakan bentuk sinergi untuk mendorong percepatan pemberdayaan potensi besar yang dimiliki oleh pesantren.
“Dengan adanya Kampoeng BNI Berbasis Pesantren, masyarakat pesantren akan semakin mandiri secara ekonomi, yang pada gilirannya akan membawa kesejahteraan masyarakat luas. Pesantren memiliki potensi yang luar biasa besar, tinggal dikembangkan,” katanya.  (Ftm)

Ansor Soroti 3 Masalah Bangsa


gp-ansor.org, SURABAYA: Ada tiga permasalahan yang dihadapi bangsa pasca-reformasi 1998. Tiga masalah yang dianggap sangat fundamental itu antara lain, tentang kebhinnekaan, korupsi dan kemiskinan.
Mengenai masalah kebhinnekaan, yang terjadi sekarang ada kecenderungan sifat kekanak-kanakan dengan mempertentangkan nilai dan tradisi ke-Indonesiaan.
“Padahal sejarah telah memberikan kita sebuah keniscayaan kemajemukan dan kebhinnekaan sebagai bingkai dari bangunan NKRI. Dan seharusnya kita menghargai para pendahulu karena telah menanamkan pondasi kemajemukan itu,” kata Ketua Umum PP GP Ansor, Nusron Wahid, Sabtu (4/1/2014).
Dengan kemajemukan itu setidaknya mengandung nilai-nilai untuk saling menghormati, tenggang rasa, toleransi dan menjaga NKRI. Nusron-demikian ia akrab disapa menjelaskan, masih terjadi pembiaran terhadap kelompok masyarakat yang bertindak tidak Pancasilais mengatasnamakan kepentingan agama dan kelompok, di atas kepentingan ke-Indonesiaan.
“Jangan lupa kita ini orang Indonesia. Kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang berada di Indonesia. Kalau kita beragama Kristen, kita adalah orang Indonesia yang beragama Kristen, kalau kita Hindu, maka kita orang Indonesia yang beragama Hindu, begitu seterusnya. Pertanyaannya sekarang seandainya NKRI bubar, kita akan bersedih?” ujarnya.
Ditambahkan Nusron, sikap GP Ansor tegas dan tidak akan berubah, Ansor tidak rela NKRI terkoyak. Ke-Bhinnekaan hilang dari negeri ini. Pancasila dan UUD 1945 lenyap tidak difungsikan sebagai landasan negara. Kendati demikian, GP Ansor akan tetap memberikan kebebasan terhadap seluruh kader-kadernya menjalankan syariat ajaran Islam.
Bagi GP Ansor, lanjut dia, Islam adalah sublimasi untuk ke-Indonesiaan, demikian sebaliknya. Ini artinya, nilai-nilai Islam yang subtantif harus dijadikan perekat untuk memperkuat ke-Indonesiaan. Sebaliknya, kultur dan tradisi ke-Indonesiaan tetap menjadi genre ke-Islaman. Dua pilar inilah, ke-Indonesiaan dan ke-Islaman menurut Nusron, yang juga Anggota Komisi IX DPR RI, sebagai jati diri sehingga bangsa Indonesia menjadi terhormat, bermartabat di mata dunia dan agama lain.
“Ada yang tidak rela dengan keindahan dan kemartabatan posisi Islam Indonesia. Identitas ke-Islaman dimonopoli dengan identitas budaya bangsa lain. Islam dijauhkan dari budaya Indonesia. Dibuat seakan-akan budaya Indonesia bukan bagian dari tradisi Islam,” ujarnya.
Buat Ansor, lanjutnya, upaya meminggirkan tradisi Islam Indonesia dengan dalih memurnikan ajaran Islam adalah bagian dari upaya untuk meminggirkan, melenyapkan Indonesia itu sendiri. Menjadi kewajiban GP Ansor berjihad untuk mempertahankan tradisi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan demi NKRI.
Masalah kedua tentang korupsi, GP Ansor ikut memberikan apresiasi terhadap prestasi aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang serius memberantas tindak pidana korupsi. Sebagai generasi muda, GP Ansor akan terus memberikan dukungan kepada aparat hukum dan berani menjadi pelopor dalam menciptakan Indonesia yang bersih bebas korupsi.
Terakhir mengenai masalah kemiskinan. Isu ini tetap menjadi agenda jihad GP Ansor. Apalagi kemiskinan terjadi sebagian besar di lapisan masyarakat pedesaan. Dimana disitu merupakan basis warga NU dan Ansor. Pengentasan kemiskinan tidak bisa diselesaikan monopoli pemerintah. Perlu dukungan partisipasi seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali GP Ansor.
Sebagai kekuatan generasi muda, dimana anggota Ansor adalah usia produktif, maka menjadi wajib hukumnya bagi GP Ansor melakukan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.
Masih menurut Nusron, strategi pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan model memberikan bantuan sosial yang masif tidak selektif. “Model ini selalu berujung pada menciptakan masyarakat yang apatis dan tidak kreatif,” tegasnya.(Jid/Fm)