ENAM puluh delapan tahun silam, tepatnya, 22 Oktober 1945, sejumlah Kyai berkumpul di kantor Ansor untuk sebuah komitmen kebangsaan, ya,.. mereka berkumpul bukan untuk menagih janji politik dalam bentuk proyek pembangunan sebagaimana halnya yang banyak dilakukan saat ini, bukan pula untuk membahas setumpuk proposal dengan deretan angka-angka yang fantastis, dan sudah pasti bukan untuk membahas pembagian jabatan strategis dalam struktur pemerintahan. Tetapi mereka bermusyawarah untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat itu, baru berumur dua bulan. Rekomendasinya, adalah resolusi jihad NU yang bertujuan untuk memaksa sekutu angkat kaki dari bumi pertiwi.
Inilah konstribusi ril NU untuk Bangsa, yang boleh jadi sebagai generasi pelanjut kita tak pernah tahu, rupanya sejarah yang selama ini kita pelajari di sekolah tidak lengkap, kalau tak mau dikatakan terpangkas. Kini setelah negeri ini telah memasuki usia senja, sudah sewajarnya jika kita kembali mengenang penggalan sejarah yang terlupakan ini, sekaligus untuk memetik hikmah dalam melakukan ijtihad melawan penjajahan model baru.
Peran dan konstribusi Nahdlatul Ulama terhadap eksistensi dan tegaknya NKRI memang tak bisa dibantah. “Mau ditutupi seperti apa pun tidak akan bisa, lambat laun pasti akan terungkap”, (KH.Dr. Said Agil Siradj,MA, Resolusi Jihad NU, sejarah yang dilupakan, 2011). Memang jika kita mencermati sejarah resmi yang diajarkan di Indonesia, sangat minim menyinggung resolusi jihad NU, padahal peristiwa inilah sesungguhnya yang memicu meletusnya peristiwa 10 November 1945, sebuah peristiwa yang kita peringati sebagai hari pahlawan. Sejarah yang kita pelajari selama ini meletakkan peristiwa 10 November 1945 berdiri sendiri (tiba-tiba) ada, atau meletus begitu saja tanpa didahului peristiwa sebelumnya.
Padahal, tidak akan ada peristiwa 10 November 1945 kalau tidak ada peristiwa 22 Oktober 1945. Peristiwa 22 Oktober 1945, muncul sebagai jawaban kebingungan Presiden Soekarno dan Jenderal Sudirman melihat kedatangan tentara sekutu bersenjata lengkap di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di tanah air, untuk mencaplok kembali kedaulatan Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Bung Karno ketika itu menyadari sepenuhnya, bahwa sebagai Negara baru posisi tawarnya di dunia internasional masih lemah, apalagi infrastruktur pemerintahan belum memadai, khususnya perangkat militernya. Karena itu bagi Soekarno, tidak ada pilihan lain selain menggelorakan perlawanan rakyat semesta.
Pertanyaannya, siapa yang memiliki power untuk menggelorakan perlawanan rakyat dengan sukarela di saat bangsa masih seumur jagung? Dalam posisi galau itulah, Soekarno mengirimkan utusan khusus untuk sowan kepada Raisul Akbar NU, Hadratus Syekh KH.Hasyim Azhari di Tebu Ireng Jombang. Melalui utusan khusus itu, Soekarno bermohon agar Hadratus Syekh mengeluarkan fatwa jihad.
Sebagai seorang ulama yang senantiasa mengedepankan musyawarah dan keikhlasan berjuang, Kyai Hasyim memanggil KH Wahab Abdullah dari Tambak Beras Jombang untuk mengumpulkan ketua ketua NU se-jawa timur dan Madura dalam membahas masalah tersebut, singkat kisah, tanggal 21 Oktober 1945, semua delegasi NU beserta Kyai utama lainnya berkumpul di Kantor Pusat Gerakan Pemuda Ansor, jalan Bubutan Surabaya. Setelah melewati diskusi yang panjang, esok harinya 22 Oktober 1945 disepakatilah Resolusi Jihad NU yang terdiri dari tiga poin kesepakatan; Pertama, berjihad membela Negara itu wajib hukumnya, Kedua, mati dalam medan pertempuran dijamin mati syahid, dan yang ketiga, bagi yang berpihak kepada penjajah dibenarkan untuk dibunuh.
Begitulah komitmen NU terhadap Bangsa, setia mengawal NKRI dari awal sampai akhir. Sebagai generasi pelanjut, saat ini kita tidak lagi diminta untuk angkat senjata melawan penjajah dari luar. Tetapi komitmen para ulama untuk berjuang tanpa pamrih sejatinya menginspirasi kita untuk mengambil peran dalam menyelamatkan bangsa dari mental penjajah yang hingga kini masih bercokol di tanah air.
Fenomena politik dinasti yang belakangan ini ramai disoroti oleh media massa, seharusnya menjadi agenda besar kita untuk menolaknya tanpa syarat. Sebab kalau kita berkaca pada kiprah para ulama yang telah mempertaruhkan nyawanya di medan perang, tak satu pun di antara mereka yang meminta apalagi mengemis jabatan. Begitupun dengan penyakit kronis korupsi yang sampai kini masih menggerogoti bangsa kita, sebagai bentuk penjajahan model baru yang berpotensi menyengsarakan rakyat, harus dilawan dengan cara yang sistematis. Kesederhanaan Kyai dahulu, dengan mengedepankan pendidikan karakter melalui pondok pesantren harus dimaknai sebagai sebuah bentuk pengkaderan bangsa berbasis moralitas, yang diharapkan bisa berkonstribusi dalam membentuk karakter bangsa.
Sayangnya kader berbasis pesantren saat ini banyak terpinggirkan oleh kekuatan politik dinasti yang menggurita. Liberalisme politik menempatkan kekuatan finansial sebagai mesin pengeruk suara rakyat yang mengambang, membuat kader ulama terpinggirkan. Situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan ini, mesti dilihat sebagai agenda “jihad” politik saat ini.
Sebagai penganut agama yang terbesar di negeri ini, ummat Islam dituntut untuk melakukan terobosan baru dalam mewujudkan cita-cita dan harapan bangsa. Kalau penjajah bermaksud mengeruk sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, maka dinasti dan korupsi saat ini, selain menyengsarakan rakyat, juga menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Tanpa bermaksud membela teroris, penulis merasa perlu mengingatkan bahwa, kalau teroris tega membunuh orang perorang, koruptor bisa membunuh jutaan orang secara perlahan. Ini artinya, seorang koruptor jauh lebih berbahaya daripada seorang teroris.
Karena itu melalui momentum 22 Oktober 2013 ini, penulis mengajak kepada sesama anak bangsa untuk mengambil semangat resolusi jihad NU 1945, sebagai inspirasi utama dalam memerangi koruptor. Jayalah Indonesia, merdeka dari penindasan para koruptor.
Penulis: Darwis Waru, Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Poso, mantan jurnalis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar